Perdebatan mengenai asal muasal ilmu laduni seringkali muncul, dan Buya Arrazy Hasyim mengupasnya berdasarkan kisah Nabi Musa AS yang berguru kepada Nabi Khidir, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran. Pertanyaan mendasar kemudian muncul: Apa sebenarnya ilmu laduni itu?
Asal muasal konsep ini berakar pada kisah Nabi Musa AS yang diperintahkan untuk menimba ilmu dari Nabi Khidir, yang dipandang sebagai pemilik ilmu laduni. Narasi ini bermula ketika malaikat bertanya kepada Nabi Musa, "Apakah ada orang di dunia ini yang lebih pintar darimu?". Nabi Musa menjawab tidak ada, dan mengakui bahwa dirinyalah yang paling pintar. Pengakuan ini, menurut Buya Arrazy Hasyim, menjadi titik awal munculnya pemahaman tentang ilmu laduni yang dikenal luas.
Dalam kalangan penuntut ilmu, khususnya para santri, ilmu laduni dianggap sebagai pencapaian istimewa yang hanya bisa diraih melalui tirakat yang berat. Buya Arrazy Hasyim, melalui kanal Youtube Cafe Rumi Jakarta, mencoba menjabarkan cara memperoleh ilmu ini. Beliau menyatakan bahwa seseorang harus memetakan ilmu dalam dirinya terlebih dahulu, menentukan apakah ilmu tersebut dapat dipahami melalui membaca, melihat, berpikir, eksperimen, atau intuisi.
.jpeg)
Menurutnya, mempelajari ilmu agama meliputi berbagai bidang seperti Fiqih, Akidah, Hadits, dan Tajwid, yang termasuk dalam kategori ilmu empirik. Sementara itu, Akidah sebagian masuk ke ranah ilmu rasional atau logis. Terdapat pula ilmu eksperimen yang dipelajari di laboratorium maupun di lapangan. Lebih lanjut, Buya Arrazy menjelaskan bahwa ada pula ilmu yang tak terjangkau oleh metode empirik, tidak dapat dilihat, didengar, disentuh, maupun dipikirkan. Meskipun terdapat upaya untuk memotret aura, menurutnya hal tersebut belum mencakup keseluruhan ilmu. Ilmu semacam ini hanya dapat dirasakan melalui qolbu dan rohani, dan inilah yang disebut dengan ilmu Zauqi atau ilmu laduni.
Esensi dari ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh langsung dari qolbu atau rohani, yang bersumber dari Allah SWT sebagai sumber segala pengetahuan. Buya Arrazy menegaskan bahwa ilmu laduni bukan berarti kemampuan menjadi kebal atau menghilang. Kemampuan-kemampuan tersebut termasuk dalam ranah ilmu eksperimen yang bersifat kebatinan, yang menghubungkan seseorang dengan ma'rifatullah. Tujuan utama ilmu laduni adalah untuk mengenal Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Hal ini tercermin dalam doa-doa yang terdapat dalam Surat Al-Kahfi ayat 10, yang memuat permohonan ilmu serta menjadi awal mula istilah laduni. Tujuannya adalah untuk memperoleh rahmat Allah SWT, termasuk kasih sayang dan pemahaman terhadap sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain, doa tersebut memohon ilmu langsung dari Allah SWT mengenai makrifat sifat-sifat-Nya, mengenal hakikat dari sifat-sifat-Nya. Inilah esensi laduni.
Dalam Al-Quran, kata 'ladun' lebih sering dikaitkan dengan rahmat. Meskipun ada yang mengaitkannya dengan ajaran Azzima atau hal-hal lain, laduni dalam kajian Ahlussunnah, baik dari perspektif Aqidah, Ahli Tasawuf, maupun Ahli Dzikir, tidak memiliki kaitan dengan ilmu kanuragan. Ilmu kanuragan bukanlah yang dianjurkan dalam keilmuan Islam.
Asal muasal konsep ini berakar pada kisah Nabi Musa AS yang diperintahkan untuk menimba ilmu dari Nabi Khidir, yang dipandang sebagai pemilik ilmu laduni. Narasi ini bermula ketika malaikat bertanya kepada Nabi Musa, "Apakah ada orang di dunia ini yang lebih pintar darimu?". Nabi Musa menjawab tidak ada, dan mengakui bahwa dirinyalah yang paling pintar. Pengakuan ini, menurut Buya Arrazy Hasyim, menjadi titik awal munculnya pemahaman tentang ilmu laduni yang dikenal luas.
Dalam kalangan penuntut ilmu, khususnya para santri, ilmu laduni dianggap sebagai pencapaian istimewa yang hanya bisa diraih melalui tirakat yang berat. Buya Arrazy Hasyim, melalui kanal Youtube Cafe Rumi Jakarta, mencoba menjabarkan cara memperoleh ilmu ini. Beliau menyatakan bahwa seseorang harus memetakan ilmu dalam dirinya terlebih dahulu, menentukan apakah ilmu tersebut dapat dipahami melalui membaca, melihat, berpikir, eksperimen, atau intuisi.
.jpeg)
Menurutnya, mempelajari ilmu agama meliputi berbagai bidang seperti Fiqih, Akidah, Hadits, dan Tajwid, yang termasuk dalam kategori ilmu empirik. Sementara itu, Akidah sebagian masuk ke ranah ilmu rasional atau logis. Terdapat pula ilmu eksperimen yang dipelajari di laboratorium maupun di lapangan. Lebih lanjut, Buya Arrazy menjelaskan bahwa ada pula ilmu yang tak terjangkau oleh metode empirik, tidak dapat dilihat, didengar, disentuh, maupun dipikirkan. Meskipun terdapat upaya untuk memotret aura, menurutnya hal tersebut belum mencakup keseluruhan ilmu. Ilmu semacam ini hanya dapat dirasakan melalui qolbu dan rohani, dan inilah yang disebut dengan ilmu Zauqi atau ilmu laduni.
Esensi dari ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh langsung dari qolbu atau rohani, yang bersumber dari Allah SWT sebagai sumber segala pengetahuan. Buya Arrazy menegaskan bahwa ilmu laduni bukan berarti kemampuan menjadi kebal atau menghilang. Kemampuan-kemampuan tersebut termasuk dalam ranah ilmu eksperimen yang bersifat kebatinan, yang menghubungkan seseorang dengan ma'rifatullah. Tujuan utama ilmu laduni adalah untuk mengenal Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Hal ini tercermin dalam doa-doa yang terdapat dalam Surat Al-Kahfi ayat 10, yang memuat permohonan ilmu serta menjadi awal mula istilah laduni. Tujuannya adalah untuk memperoleh rahmat Allah SWT, termasuk kasih sayang dan pemahaman terhadap sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain, doa tersebut memohon ilmu langsung dari Allah SWT mengenai makrifat sifat-sifat-Nya, mengenal hakikat dari sifat-sifat-Nya. Inilah esensi laduni.
Dalam Al-Quran, kata 'ladun' lebih sering dikaitkan dengan rahmat. Meskipun ada yang mengaitkannya dengan ajaran Azzima atau hal-hal lain, laduni dalam kajian Ahlussunnah, baik dari perspektif Aqidah, Ahli Tasawuf, maupun Ahli Dzikir, tidak memiliki kaitan dengan ilmu kanuragan. Ilmu kanuragan bukanlah yang dianjurkan dalam keilmuan Islam.
This post have 0 comments
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon